Jumat, 03 Februari 2012

BIMA KEMBALI BERDUKA

BIMA KEMBALI BERDUKA


KARYA : UDIN SAPE BIMA 
Bima kembali berduka
kantor bupati di bakar massa
terlukis pasung bayang menggasing di bumi pertiwi
mendendang rempas anak cucu bangsa
lalu berdansa di atas sengketa telusup massa
terpekur cakrawala sekerat di negri apik
negriku menukil cerita
tentangriwayat rakyat dan kekuasaan politik

Ya, negriku kembali di rundung kerusuhan
mengaum berburam di sudut ruang
terlindas teteskan air mata
mengendus jiwa berdesau rentang keganduhan
berkicap suara rakyat terambing rampas
di lumpuhkan para politik bedebah
terendam senandung derita
kegemuruhan di dana mbojo

Negriku tertimbun setumpuk wajah
bergelanyut kusam sepanjang zaman
merayap tersungkur di pandang trotoar
tersimpul derita di benderang terekam waktu
bersuatan  membahana simbah negri apik
merintih rumpun di terpa massa

Dalam gugus cermin waktu
pertiwi menangis nista di kelopak mawar mekar
melihat rakyat tertindih di bungkam massa
merunduk wajah bergugur di dana mbojo
merenung raung dalam bayang-bayang maut
yang bersarang dalam sandiwara para birokrat
lalu menyungkup jiwa rakyat di alam kabut

Di sudut jendela rumahku
terlihat wajah rakyat terpampang
merintih serupa kabut di dinding semayam
lalu mengapung jiwa bersimpuh larut dalam
genangan sang politik
meraup terjungkal wajah rakyat di dana mbojo
menjalar tersengal di ujung garis horizontal


MATARAM, JANUARI, 2012

Trio Penyair: Pak Cik Nuril - Lia Salsabila - Udin Sape Bima - Dinota Karya A.Kohar Ibrahim

Trio Penyair :
Pak Cik Nuril –  Lia Salsabila – Udin Sape Bima

Yang Lokal Universal

Nota Karya
Oleh : A.Kohar Ibrahim


TIGA nama penyair hadir di halaman Facebook -- menyaji kreasi puisi berupa sajak masing-masing. Pak Cik Nuril Putera Mahkota alias Muhammad Nurul dengan sajaknya berjudul “Aw Aw”. Lia Salsabila dengan sajak “Hujan Kembali Datang”. Udin alias El-Dien Sape Bima dengan sajak “Negeri Tak Berwajah”.

Ah ah ! “Negeri Tak Berwajah” Udin. “Aw Aw” Nurul. “Hujan Kembali Datang” Lia. Tiga penyair, tiga wajah, tiga jiwa asal tiga lokal, tiga Daerah yang menggugah sekalian menggelitik hati dan pikiran serta imajinasi. Tetapi apalah makna lokal dalam aktivitas-kreativitas seni kebanding – misal dengan Sentral atau Pusat atau Nasional? Tiada. Kalaupun ada mungkin dalam nuansa suasana tempatan masing masing saja.

Akan tetapi, sekalipun ada kandungan nuansa kelokalan maka tak urunglah bisa bersifal nasional pun universal. Selaras – justeru dari isi yang terkandung di dalamnya. Isi yang nampak, yang terasa, berkat paduan pilihan pengungkapan, pelukisan dan simbolisasi yang tersajikan.

Seperti dalam ketiga sajak: “Aw Aw”, “Hujan Kembali Datang” dan “Negeri Tak berwajah” itulah. Ada kandungan lokal yang terkandung namun tak urung universal pula sifatnya. Lantaran yang dinyanyikan merupakan lagu alam manusia. Alam lingkungan alam dan manusia yang bermasyarakat dalam juang perjuangan kesehari-hariannya. Yang satu sama lain berkait erat – meski kadang-kadang selang silang seling kait berkaitan pula adanya.
*

Sajak Aw Aw oleh Pak Cik Nuril alias Muhammad Nurul

KETIKA membaca sajak “Aw Aw” Nurul, memang seketika pula saya tergelitik. Seperti yang telah saya utarakan dalam komen atau nota ringkas di ruang Facebook 21 Januari 2012:

Pilihan pengungkapan pengisahan metafora sekalian yang padu hadir lancar mengalir. Seperti air hujan dari pancuran aku mandi sejuk nyaman.


"Aw Aw"! Seketika aku jadi teringat sewaktu cakap cakap dengan Pak Tenas di ...Pekanbaru sekitar seni budaya - khususnya tentang seni tradisi yang baik seperti seni binaan; seperti halnya susastra. Sampai pada soal yang jadi persoalan akan perlunya "mengangkat benang basah", Pak Tenas Effendy bilang: Tujuan itu baik, tapi harus mengenal dan tahu apa yang hendak diangkat itu."


 Iya. Aku kira, sudah selayaknya penulis, penyair terus menjaga, menggali, mengangkat perbendaharaan kata bahasa yang menjadi sarana ekspresinya. Aku gembira, sekali dan sekali lagi membaca Pak Cik Nuril, upaya yang baik sekaitan bahasa itu terpercik. Terima kasih. Salam kreatip.


Komentar ringkas itu pada 23 Januari 2012 ditanggapi oleh sang penyair Nurul alias Nuril :

« iye pak aki, bicare bahase seni tradisi,
banyak yang belum bisa terangkat, karna banyak yang terlupakan.
saye nak minta tunjuk ajar dari pak aki, agar bahase seni dan tradisi bisa terangkat,dijaga, dilestarikan sebagai warisan daerah. »


IYA. Warisan daerah layak diapresiasi selayak-layaknya, karena sekaligus juga sebagai warisan nasional bahkan internasional. Apa pula bahasa Melayu sudah ada sejak dulu kala. Malah menjadi bahasa perjuangan seperti tertanda dalam Sumpah Pemuda – hanya untuk kemudian salah seorang pembinanya yang terkemuka mendapat gelar Pahlawan Nasional Republik Indonesia : Raja Ali Haji. Nama sang Pahlawan yang kemudian juga menjadi nama salah sebuah universitas di Kepulauan Riau :UMRAH. Dimana Muhammad Nurul salah seorang mahasiswanya.

Sebagai pelengkap sajian sajak « Aw Aw » iyalah karya visual berupa foto pepohonan bakau. Hutan bakauPas sekali dengan tema yang diungkapkan. Pepohonan yang beragam guna sekaligus juga berperan penting dalam eko sistem (ekologis). Salah satu macam perhutanan yang amat berharga di bumi Nusantara pun dunia. Yang layak dijaga dari kesewenangan manusia semata mata demi kepentingan picik, egois dan serakah.
“Aw Aw” ! Dengan sajak ini -- secara langsung tak langsung -- penyair Muhammad Nurul kelahiranSungai Pakning  Provinsi  Riau telah menggugah sekaligus menyegarkan ingatan kita akan makna bahasa Melayu dan makna lingkungan alam tempatannya.

*

Aw Aw

Oleh : Pak Cik Nuril Putera Mahkota


Pukaulah aku
Dalam angau yang tak menentu
Taburlah serbuk bakau
Dalam angin sengau
Katakanlah pedau
Katakanlah payau
Katakanlah sasau
Katakanlah risau
Aku melapuk dalam ombak sakau
Meninggilahlah gunung
Meluaslah samudera
Mendalamlah lautan
Menegaklah langit
Mandikanlah aku dalam mimpi kata-kata resah.


Catatan: dalam fikiran yang kacau, mengenang Tanjungpinang 20 januari 2012

*
(FB : 21.01.2012)

*


Sajak Hujan Kembali Datang Lia Salsabila

SAYA memang kerap ulang bilang persetujuan dengan opini Hudan Hidayat. Bahwasanya bagi kita yang pertama dan terutama pentingnya adalah menyimak hasil karya seseorang bukan orangnya. Dan dalam mengapresiasi susastra barangtentu adalah bahasa atau kata-kata yang dijadikan sarana. Sungguh menggelitik malah bisa menggugah rasa senang lantaran indah keindahan yang terkandung-saji oleh buah pena buah ekspresi diri sang penulis atau penyair.

Iya benar. Suka baca membaca memang ada tujuannya. Dalam membaca hasil karya sastra terutama selain untuk santapan pikiran juga perasaan. Selain menimba ilmu pengetahuan sekaligus juga kenikmatan batiniah. Semacam atau ragam macam yang terperoleh darinya. Berkat gugahan dari gubahan seniman-seniwati atau penyair bersangkutan.

Seperti salah sebuah contohnya itulah. Sebuah sajak berjudul “Hujan Kembali Datang” itu.

Pilihan pengungkapan, penuturan sekalian simbolisasi padu tersajikan. Perpaduan rekaman kehidupan inderawi-batini yang terkesankan realis sekaligus romantis puitis. Dengan sarana bahasa tertata bina kata-kata sederhana namun dalam makna.

Seketika sepintas kilas aku jadi senang terkenang pada gambaran suasana dalam lukisan Henry Fusli dan William Turner.

Ah barangtentu, penuturan atau penggambaran Lia Salsabila itu beda baik zaman pun alam nyatanya. Bukan di Eropa tapi di Jember Jawa Timur ! Namun dimana kapanpun juga suasana tingkah ulah alam dunia ya sama saja. Gerakannya yang bisa berubah ubah sering mengejutkan sekalian menakjubkan malah.

Namun juga, tak urung : gores garis pena dan nuansa nada irama sapuan Lia Salsabila tak kalah dengan keplastisan gores garis sapuan para pelukis tersebut di atas.

Orang Jawa, cakap cermat memanfaat sarana komunikasi bahasa Indonesia dalam kreativitas perpusian seperti contoh penyair wanita Lia Salsabila ini,  sungguh menggembirakan dan membanggakan sekaligus.

Bahasa Indonesia memang luarbiasa. Sebagai sarana kreativitas sastrawan-sastrawati Indonesia segala zaman.
*

Hujan Kembali Datang

Oleh : Lia Salsabila


gerimis menyapa ritmis
mengecup debu dan puing mengabu
membasah gersang sehampar ilalang
menghijau padang seluas keramba udang
hujan kembali datang, sayang
mengguyur sawah, ladang, juga tanah lapang
mengairi sungai, danau, waduk yang dulu gersang
hujan datang bersama gelegar
menghempas biduk menghanyut lubuk
menggenang sepadang galangan
membandang membanjir sampai hilir
hujan sudah datang, sayang
namun mengapa air matamu berderai
bukankah ini yang kaurindukan
sebab tak lelap, ranjangmu kebocoran
goronggorong dan selokan meluap tak karuan
jalanjalan dan perumahan mirip lautan
hujan memang datang, sayang
membawa cerita lain kemarau
lebih biru atau pilu
tergantung jiwa kita menuju


Rumah Hujan
2011

*
(FB 27.01.2012)
*

Sajak Negeri Tak Berwajah Udin Sape Bima


KINI setelah Orang Melayu  dari Riau dan Orang Jawa dari Jember Jatim, bagaimana kecakap-cakepan Orang Nusa Tenggara Barat dengan contoh penyair Udin Sape Bima dari Mataram. Dengan kreasi puisi berupa sajaknya berjudul “Negeri Tak Berwajah”.

Meskipun dari sudut lokal wilayah daerah berbeda namun mereka Bangsa Indonesia juga, pengguna bahasa Indonesia juga, pengungkap angkat kekentalan nuansa lokal yang nasional malah universal juga. Lantaran menyanyikan lagu yang pada dasarnya sama: lagu alam manusia.

Jika hendak disimak keberbedaanya, hal itu terutama terletak pada pilihan pengungkapan tema yang lebih kental pada paduan situasi-kondisi yang faktual lagi aktual. Dituturkan dengan luapan emosi yang semarak. Namun senantiasa mengetengahkan simbolisasi atau metafora yang bernada irama dinamik puitik. Suatu osmosia – ramuan – yang harmonis terpadu. Hingga mampu menggugah bahkan terkesankan menggugat kondisi kehidupan manusia. Khususnya rakyat pekerja. Dalam kegegap-gempitaan jejak juang menjalani kehidupan. Supaya kebenaran dan keadilan dijaga ditegakkan sekaligus!

Dengan kata lain sajak “Negeri Tak Berwajah” adalah ekspresi protes sosial dalam puisi. Suatu pertanda nyata akan naluri aspirasi manusia yang berhak dan mendasar: untuk mengenyam kehidupan di alam merdeka, adil makmur dan beradab. Suatu naluri aspirasi manusia yang sudah, sedang dan bisa akan terjadi di mana kapanpun juga adanya. Universal.

Dari sejumlah hasil aktivitas-krreativitasnya, Udin Sape Bima memang telah menandakan dengan nyata kepedulian seorang anak bangsa, seorang cendekiawan. Iya,  seorang penyair yang peduli akan kondisi hidup kehidupan di atas tanah tumpah darahnya. Indonesia Raya yang megah, luas, kaya raya, indah, tapi sebagian besar rakyat masih belum bisa mengenyam kehidupan Kemerdekaan dalam makna yang luas dan yang hakiki. Kehidupan yang modern dan beradab.

Dan apa yang dilukiskan oleh Udin Sape Bima dengan “Negeri Tak Berwajah” ini rupanya masih belum usai. Masih akan bersambung. Lantaran perjuangan itu sendiri memang belum selesai. ***

*

NEGERI TAK BERWAJAH

Oleh Al-Dien Sape Bima

Di genangan bumi pertiwi
berkesiur potret wajah rakyat
bergelantung di perasingan langkah
mamatung senja wajah
terkapar di peraduan zaman
membuncahkan seluruh tanah air
seraya mengungsi jiwa
tersuguh lelap atas kekuasaan sang politik
Dalam rumah pertiwi
anak watan berbaring meramaikan
jalan massa berburam
di simpang jalan
melengking nafas bersanding derita
derita mewadahi tanah air
lalu berselimut kabut tertelan waktu
Orang-orang miskin
berkerumu selaput rampung di pedesaan
menapak ladang di tanah pertiwi
bercucuran keringat mengalir
bermuara dalam peperangan waktu
namun di balik gedung tertinggi
politik sedang mengupas suap menyuap
pandangan tentang rupiah
Rakyat mendengung peraduan
bersanding merunduk ranum jiwa
membasuh harapan
di negri yang tak berwajah
lalu bersanding merengku mimpi
dalam pengadaian hidup bersatu
Dalam mimbar berbagai perkotaan
Tuan-tuan sedang rapat
berbicara tentang renovasi gedung
melindap bersilancar mengemas rupiah
berteriak seraya membangun negri
dan menumbuh keadilan di kerawang pertiwi
Tuan lihatlah dengan mata hati
kaum pejuang muda menderas derita
menyebrang jembatan maut
mendayu endapkan jiwa
demi massa depan untuk memperkokoh bangsa pertiwi
yang melandasi bangsa retorika kukuh
Tuan
masihkah kau tidur terlelap dengan kekuasaanmu
coba Tuan bangunlah dalam tidur
di luar sana batu di bungkam massa
darah terus mengalir membasahi tanah pertiwi
Tuan
lihatlah dengan mata hati
kaum wanita menangis pilu
menderai-deraikan nafas
yang terkuntum ditanah haram
menggendong daging atas perbudakan
ratapi sangkar musnah jiwa
tak ada lagi harga diri
yang terkantum di negri ini
Tuan
lihatlah dengan mata hati
masih ingatkah Tuan peristiwa dermaga sape
di sana telah di tumpahkan darah yang bercecer
di sudut labuhan
Tuan
lihatlah dengan mata hati
masih ingtkah Tuan tentang sandal jepit?
AAL pejuang muda kau teror
dalam dinding garis air mata kehidupan
bebalut serapah menantang hukum
atas peniadaanmu
dan para koruptor kau bebaskan dengan uang dan uang
Di mana kau letakkan keadilan !
Jangan kau bernyanyi di meja pengadilan
nyanyian busuk
membusukan nyanyian bangsa kemerdekaan
Sungguh engkau telah mematikan negri
tuturkan katamu membuat negri bernyanyi
nyanyian telah merobekkan tubuh negri
sejuta janji sejuta sumpah
Di layar dunia potret wajahmu
hampir mengkibarkan seluruh negri pertiwi
lalu seraya berkata negri ini akan damai dan sejahteraan
namun pernyataan itu kau menghianatnya

*
(Bersambung......)

Udin Sape Bima
MATARAM, JANUARI, 2012

*
(FB 26.01.2012)
*

Catatan :
Naskah Nota Karya «Trio Penyair Pak Cik Nuril – Lia Salsabila – Udin Sape Bima : Yang Lokal Universal » ini pertama disiar di halaman profil Facebook A.Kohar Ibrahim 28 Januari 2012.
Kreasi sajak sajak dan ilustrasi foto pemilik penulis masing-masing.

*
Biodata :
A.KOHAR IBRAHIM
 Kelahiran Jakarta 1942. Penulis Pelukis tamatan Akademi Senirupa Brussel Belgia (1972-1979).
Aktivitas-kreativitas sebagai jurnalis dan penulis sejak tahun 1950-an. Karya tulis tersiar di media massa seperti Bintang Timur, Bintang Minggu, Warta Bhakti, Harian Rakyat & Minggu, Majalah Zaman Baru (dpp Rivai Apin dan S. Anantaguna).
1989-1999 Editor Majalah Seni dan Sastra KREASI terbitan Stichting Budaya, Amsterdam, Holland.
Sejak zaman Reformasi berkas berkas tulisannya tersiar sebar beberapa media massa. Antara lain: Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Sijori Pos, Batam Pos, Majalah Budaya 12 (Dewan Kesenian Kepri, Tanjungpinang), Gema Mitra  Swakarsa (Batam).
Sebagai essayis, berkas berkas essay sosio-budayanya antara lain:
(1).Sekitar Tempuling – Telaah Buku Kumpulan Sajak “Tempuling” karya Ruda K Liamsi. Semula disiar Harian Batam Pos, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh Yayasan Sagang, Pekanbaru 2004.
(2).Dari Puncak Sang Pahlawan Nasional Sastra Kepulauan Riau – termaktub dalam buku Identitas Budaya Kepri  - kumpulan essay bersama, terbitan Dewan Kesenian Kepri Tanjungpinang 2005.
(3).Kepri Pulau Cinta Kasih – buku kumpulan essay bersama Lisya Anggraini, terbitan Tititk Cahaya Elka, Batam 2006.
(4).Sekitar Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu, buku kumpulan essay terbitan Titik Cahaya Elka, Batam, 2009.
Berkas berkas essay yang disiar Harian Batam Pos, tapi belum sempat diterbitkan dalam bentuk buku, seperti antara lain: “Catatan Dari Brussels” (40 essay); “Sekitar Tembok Berlin – Lagu Manusia Dalam Perang Dingin Yang Panas” (30-an essay). ACI: “Sekitar Prahara Budak Budaya” (25 essay).
Baik yang sudah maupun belum dibukukan, daftar berkas berkas naskah prosa dan puisinya masih panjang; berkas berkas Nota Puitika nya sudah melebihi 500-an. Disiar via sejumlah media internet, antara lain: Situs Sastra Nusantara Cybersastra.Net; ABE-Kreasi Multiply Site; Facebook; ACI – Art-Culture-Indonesia; Apresiasi Sastra (Apsas); Apresiasi Puisi; World Culture dll.
Lebih lanjut bisa disimak lacak di: http://16j42.multiply.com/journal/item/635/tag/biodata/; http://artscad.com/@/AKoharIbrahim/;
Dan dilacak dengan menggunakan mesin pencarian Google dan atau Yahoo.
*

Photo A.Kohar Ibrahim